Setiap kali pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), muncul dua argumen: argumen penguasa dan argumen rakyat. Kedua argumen itu bertolak belakang dan selalu susah untuk sama-sama memahami. Jika kita berada di tempat yang netral, kedua argumen itu kita lihat sama-sama rasional, dalam artian bisa diterima akal sehat.
Argumen penguasa menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi adalah tepat guna mengurangi angka kemiskinan. Dengan perhitungan yang njelimet, argumen ini coba disebarkan melalui bahasa-bahasa sederhana dalam iklan televisi pesanan pemerintah. Pemerintah menggunakan artis yang dikenal publik sebagai representasi wong cilik. Pemerintah berusaha mencari cela-cela ke mana isu publik bisa dimasuki agar kebijakan kenaikan harga BBM ini bisa dipahami publik. Mereka datang melalui isu subsidi pendidikan, akses kesehatan untuk orang miskin dst.
Argumen tandingan yang dimunculkan rakyat sebaliknya. Kenaikan harga BBM pasti akan menyengsarakan karena selalu diikuti dengan kenaikan harga bahan non-BBM, yang pasti tak bisa dikendalikan secara tegas oleh penguasa. Kenaikan harga BBM pasti bukan untuk mengurangi kaum miskin, malah menambahnya. Lebih fundamental, argumen ini diperkokoh dengan landasan teoritik bahwa upaya menaikkan harga BBM tak lebih dari usaha mengintegrasikan perekonomian Indonesia yang tidak kuat ini ke dalam arus liberalisasi ekonomi global. Bahkan tak sedikit demonstran yang menyatakan kenaikan harga BBM adalah intervensi kekuatan ekonomi asing agar mereka leluasa mengoperasikan kaki tangan modalnya di Indonesia.
Lalu siapapun tahu, the show must go on. Harga BBM selalu naik kendati ditentang. Demonstrasi untuk menentang sering hanya seumur jagung, dan harga BBM yang ”mahal”, tetap saja dikonsumsi rakyat berapapun harganya. Kendati hal itu pasti tidak akan sebanding dengan kenaikan pendapatan yang mereka hasilkan. Kenyataan yang ironis, kaum miskin tetaplah miskin, pendidikan untuk kaum miskin adalah isapan jempol. Akses kesehatan hanya dinikmati orang kaya. Dan orang miskin selalu ”dilarang sekolah” dan ”dilarang sakit”, begitu kata seorang teman.
Standarisasi Kemiskinan
Melihat perbedaan argumen di atas, tak pelak membuat upaya Indonesia memperbaiki nasibnya selalu terhambat. Ketika argumen penguasa tidak bisa ditepati - karena dana subsidi BBM diselewengkan oleh oknum - mereka berdalih itu bukanlah aspek yang terkait dalam proses kebijakan kenaikan BBM. Itu adalah soal lain.
Begitu pula dengan argumen rakyat, dampak kenaikan harga BBM tidak kunjung bisa dirasakan sebagaimana pesan-pesan pemerintah (mengurangi kemiskinan). Nyatanya kemiskinan bertambah model dan modusnya, walaupun angkanya selalu dilaporkan berkurang. Secara kuantitas bisa jadi kaum miskin berkurang, tetapi secara kualitas orang yang dinyatakan tidak miskin dalam artian biro statistik selalu merupakan arti konotatif.
Bagaimana orang dengan pendapatan kurang dari Rp 500.000,- misalnya (katakan sebagai rata-rata UMR di tiap daerah) sebulan dikatakan tidak miskin, dengan berbagai kebutuhan harga yang menaik setiap tahun. Standarisasi kemiskinan (sebagaimana bakat Orde Baru) selalu berbau politis, dan sering tidak jelas.
Dalam menaikkan harga BBM, penguasa berdalih kebijakan itu diambil demi rakyat. Dan mereka bilang, ”siap untuk tidak populer dengan soal ini.” Dengan pandangan objektif, siapapun penguasanya tampaknya memang sulit untuk tidak melakukan pekerjaan mengerikan ini. Paling tidak itu bisa dilihat dari tiga atau empat penguasa terakhir Indonesia. Siapapun penguasanya, menaikkan harga BBM dan menempuh satu-satunya kebijakan ini sebagai jalan untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi, mulai dianggap lumrah-lumrah saja.
Rakyat sendiri sering bersikap adil dalam konteks ini dengan bertanya, ”demi rakyat kecil yang mana yang engkau bela pemerintah”? ”Setahun atau dua tahun yang lalu, engkau juga menyatakan bahwa menaikkan harga BBM akan mengurangi kemiskinan, mana buktinya?” Lalu kini, harga BBM sudah naik. Orang kaya tidaklah terlalu bermasalah dengan kenaikan ini. Orang yang sangat kecil kaya (dan sangat kecil jumlahnya di negara kita) tidak perlu demonstrasi dan protes, karena dengan pendapatan yang ada sekarang, dipotong subsidi separuh pun, mungkin bagi tak masalah. ”Anjing menggonggong, kafilah berlalu.”
Kredibilitas Pemerintah
Itu yang tidak bisa dialami orang miskin. Ketika harga BBM naik, harga kebutuhan untuk pabrik-pabrik pasti meningkat. Tetapi gaji para buruh tidak serta merta dinaikkan, menunggu didemonstrasi terlebih dahulu berbulan-bulan, bahkan bila perlu ada korban. Nelayan tidak bisa melaut karena tidak bisa beli solar, petani tak bisa beli peralatan untuk sawah ladangnya karena ada ketidakseimbangan biaya produksi dan hasil produksi. Di sinilah penderitaan orang kecil itu. Mereka selalu menjadi korban dari proyek-proyek liberalisasi yang disebarluaskan dengan berbagai cara dan bahasa. Mereka yang miskin adalah mereka yang sudah pasang badan untuk digilas.
Kebijakan menaikkan harga BBM di negeri kita lalu menjadi komoditas politik yang ”taktis” untuk melakukan beberapa intrik, dan strategi tarik-tambang politik.
”Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah”. Itulah cerminan sosok penguasa dan wong cilik di negeri subur makmur, tapi menderita ini.
Kini wong cilik hanya menyisakan pertanyaan pokok atas kebijakan ini: Apakah pilihan menaikkan harga BBM benar-benar mempunyai pengaruh mengurangi kemiskinan? Apakah dengan kenaikan harga BBM, rakyat miskin bisa menikmati biaya pendidikan dan kesehatan murah?
Pertanyaan inilah yang seharusnya menjadi kunci keberhasilan pemerintah agar mereka tidak dituduh sebagai pembohong besar. Pemerintah harus memiliki kredibilitas (dan memang bukan semata-mata popularitas) yang kuat untuk menyakinkan publik bahwa kenaikan harga BBM dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteran kaum miskin.
Pertanyaan di atas menjadi satu-satunya yang dimiliki rakyat saat ini, yang selalu saja menimbulkan kesan menjadi korban kebohongan penguasa. Ini perlu ditegaskan, dan bukan semata-mata pembuktian berdasarkan angka-angka yang bagi rakyat sulit dimengerti, apalagi dinalar.
Nalar publik sebenarnya sangat sederhana, yakni mereka berharap kenaikan harga BBM harus diimbangi dengan pelayanan publik yang lebih efisien dan murah. Realitas kenaikan BBM yang tidak diimbangi dengan kemudahan dan perbaikan fasilitas umum, adalah realitas kebohongan penguasa.
Benny Susetyo Pr, pemerhati sosial.
Sumber : Sinar Harapan, 12 Maret 2005